Merah Putih Berkibar di Puncak Ama Dablam
KOMPAS.com - "Rasanya sangat senang karena ini mimpi saya," ucap Fedi Fianto saat berbagi pengalamannya mencapai puncak Ama Dablam. Petualangannya mencapai Mother Necklace atau Kalung Ibu Dunia bukan tanpa rintangan. Selama musim gugur 2013, dari 35 tim ekspedisi dari seluruh dunia hanya 6 tim yang berhasil mencapai puncak. Fedi adalah pedaki kedua dari Indonesia yang mencapai puncak ini. Sebelumnya, Alvin Agie Perdana pada tahun 2012 mencapai posisi yang sama.
Ama Dablam masuk kategori Extreem High Altitude karena ketinggiannya melebihi 5.000 mdpl yaitu 6.812 mdpl. Gunung ini memiliki tingkat kesulitan medan tersulit kedua didunia di bawah gunung K2 di Pakistan. Sampai saat ini belum ada tim ekspedisi dari Indonesia yang berhasil menaklukan Gunung K2 yang kisah pendakiannya difilmkan oleh Hollywood dengan judul Vertical Limit.
Walaupun lebih rendah, tingkat kesulitan Gunung Ama Dablam berada di atas Gunung Everest sebagai gunung tertinggi di dunia. "Harus memanjat dinding batu dan dinding es vertikal. Berbeda dengan mendaki Aconcagua dan Everest yang tidak memerlukanskill (keahlian) tersebut," kata Fedi. Sesuai sebutannya, Kalung Ibu, adalah menggambarkan bentuk es abadi yang menggantung di puncaknya atau biasanya disebut hanging glacier.
Karena ketinggiannya, asupan oksigen juga minim hingga tubuh sulit beradaptasi. Apalagi dengan tubuh yang terbiasa dengan suhu ketinggian yang rendah atau biasa disebut tropis seperti di Indonesia. Di puncak Ama Dablam, oksigen hanya 44 persen dari kadar oksigen yang ada di permukaan laut (Jakarta).
Sebagai gambaran Fedi menjabarkan bahwa kadar oksigen di udara bebas di permukaan laut adalah 20 persen maka di puncak Ama Dablam hanya tinggal 9 persen saja. "Mendaki Ama Dablam tanpa tabung oksigen seperti yang saya lakukan, secara teoritis sama dengan mendaki Everest dengan tabung oksigen seperti yang dilakukan Clara Sumarwati, Tim Kopassus, Mahitala, dan Wanadri," kata Fedi.
Kepada Kompas.com, Fedi Fianto menjabarkan, ekspedisi Gapai Tinggi terbagi menjadi 3 sub tim. Tugas manajer dipegang oleh Cak Lukik karena paling senior dan paham tentang sejarah pendakian dan seluk beluk Himalaya. Maklum, posisi gunung Ama Dablam pas disekitar pegunungan Hilamayala. Tugas manajer memberikan arahan dan masukan tentang pemilihan agen pendakian dan seputar proses pendakian.
Sub tim kedua adalah penanggung jawab Ekspedisi Ama Dablam ialah Taufan Hidayat. Dia paling berpengalaman di dalam tim dalam berbagai pendakian di Indonesia. Taufan juga satu-satunya anggota yang sebelumnya sudah pernah mencapai Island Peak yang memiliki ketinggian hampir sama dengan Ama Dablam, yaitu 6.189 mdpl. Terakhir adalah anggota tim terdiri dari Fedi Fianto, Nikk, dan Arief Hidayat.
Persiapannya mencapai waktu 2 tahun. Selama kurun waktu tersebut, para anggota tim melakukan latihan fisik dan mental yang cukup menguras energi. "Karena dibiayai sendiri, kami serahkan porsi dan bentuk latihan ke masing-masing anggota tim. Saya sendiri, selain suka dengan gunung juga suka dengan laut," kata Fedi.
Selama latihan, Fedi mengikuti ajang olahraga internaional, di antaranya Triathlon (Bali Internasional Triathlon Full Distance), Open Water Swimming, Bali Marathon 2013 (Full Distance 42 km), Jakarta Climbers (klub pemanjat di Jakarta), dan kelas panjat tebing (rock climbing) yang berlokasi di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta.
Beberapa kali tim juga menyempatkan latihan bersama di antaranya mendaki Gunung Salak dengan membawa galon isi air, bersepeda Jakarta – Bandung lewat Jonggol, dan latihan panjat tebing di Bogor. Untuk latihan ketahanan cuaca, beberapa anggota tim juga sempat melakukan perjalanan ke beberapa negara dengan suhu ekstrem seperti ke Iceland, Swiss,dan Norwegia.
Fedi Fianto bersama tim ekspedisi Gapai Tinggi melakukan perjalanan ini pada November 2013. Perjalanan memakan waktu 35 hari. "Perjalanan ke Base Camp (pos pemberhentian) saja sudah membutuhkan waktu minimum 8 hari. Ini sudah merupakan tantangan tersendiri," ujar pria lulusan Institute Teknologi Bandung (ITB) ini. Saat itu, dari 2 tim ekspedisi asal Indonesia, hanya 1 pendaki yang bisa mencapai puncak Ama Dablam.
Kesulitan lain muncul akibat dari Badai Tropis di India yang terjadi selama bulan Oktober dan November. Imbasnya menyebabkan cuaca buruk di Himalaya, khususnya Ama Dablam. Hal ini menyebabkan tingginya tumpukan salju termasuk ancaman datangnya longsor salju. Akhirnya banyak tim membatalkan pendakian karena gunung tidak dapat didaki. "Tidak memungkinkan untuk memasang tali karena para Sherpa (pemandu dari penduduk lokal) tidak bisa menemukan blue iceatau batu untuk menancapkan paku es," kata Fedi.
Saat cuaca membaik semua tim yang tersisa bergegas untuk mendaki yang mengakibatkan pos pemberhentian 2 penuh. Pos ini berada di atas jurang dan hanya mampu menampung 6 tenda saja. Di sini Fedi Fianto harus mengambil keputusan yang sulit. Mundur atau terus jalan mencapai puncak. Inilah saat paling sulit selama pendakian. Di tengah cuaca yang berat dan kondisi fisik yang lelah, kata pantang menyerah memiliki arti lebih dari biasanya.
Akhirnya Fedi terus berjalan sendirian. Hanya ditemani Sherpa dan tanpa anggota tim lainnya, ia memutuskan jalan menuju puncak. "Saya berangkat jam 8 pagi tanggal 21 November, sampai di Puncak Ama Dablam pada jam 12 siang keesokan harinya tanggal 22 November, selama 28 jam nonstop," ungkapnya.
Jadilah Fedi Fianto mengukir sejarah, untuk kedua kalinya Sang Merah Putih berkibar di puncak Ama Dablam.
Tambahkan Komentar